Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Misbah

8:43 PM





MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Studi Qur’an Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag





Disusun Oleh:
Abdul Mukhis (1703018041)


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018

A.    Latar Belakang
Tafsir merupakan penjelasan maksud al-Quran berdasarkan kemampuan manusia. Kemampuan inipun bervariasi, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari al Quran bervariasi pula sesuai dengan kecendrungannya. Seorang ahli hukum tentu memiliki kecendrungan yang berbeda dengan ahli bahasa ketika memahami maksud firman Allah, sehingga pesan yang dicerna dari maksud firman tersebut tentu akan bervariasi.
Tafsir Al-Mishbah merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia :Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khasanah pemahaman dan  penghayatan kita terhadap rahasia makna ayyat-ayat Allah. Nama lengkap tafsir Quraish Shihab itu adalah Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Yang terdiri dari lima belas volume.
.  Berbagai problematika kontemporer mengharuskan umat Islam untuk dapat membumikan bahasa langit ini. Nama-nama mufassir terus ermunculan pada tiap masa. Di era saat ini, salah satu mufassir Indonesia yang ikut andil dalam upaya merelevansikan ruh teks suci ialah M. Quraish Shihab. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan mengurai sekilas tentang Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Rumusan Masalah dari latar belakang di atas adalah:
1.      Bagaimana metode penulisan tafsir Al-Misbah?
2.      Bagaimana corak penulisan tafsir Al-Misbah?

1.      Biografi Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Ia merupakan anak kelima dari dua belas bersaudara, keturunan arab terpelajar. Pakar tafsir ini meraih MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1969.  Pada tahun 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan Tingkat Pertama di Universitas yang sama.[1]
Ia adalah putra dari Abdurrahman Shihab (1905-1986 M), seorang guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin  Makasar. Seperti diketahui, IAIN Alauddin Makasar termasuk perguruan tinggi Islam yang mendorong tumbuhnya Islam moderat di Indonesia. Abdurrahman Shihab juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas Muslim Indonesia) yaitu universitas Islam swasta terkemuka di Makasar.[2] 
Pengaruh ayahnya Abdurrahman Shihab begitu kuat. M. Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk memperdalam studi Al-Qur’an, terutama tafsir adalah datang dari ayahnya, yang seringkali mengajak dirinya bersama saudara-saudaranya yang lain duduk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Banyak dari petuah itu yang kemudian ia ketahui sebagai ayat Al-Qur’an atau petuah Nabi, sahabat atau pakar-pakar Al-Qur’an. Dari sinilah mulai bersemi benih cinta dalam diri M. Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur’an.[3]
Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya. Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[4]
Ayahnya senantiasa menjadi motivator baginya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih lanjut. Mengenang ayahnya M. Quraish Shihab menuturkan: “Beliau adalah pecinta ilmu. Walau sibuk berwiraswasta, beliau selalu menyempatkan diri untuk berdakwah dan mengajar. Bahkan belaiu mengajar di masjid. Sebagian hartanya benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu. Beliau menyumbangkan buku-buku bacaan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Sulawesi”.[5]
Kesuksesan M. Quraish Shihab dalam karier tidak terlepas dari dukungan dan motivasi keluarga. Fatmawati istrinya, adalah wanita yang setia dan penuh cinta kasih dalam mendampinginya memimpin bahtera rumahtangga. Kemudian anak-anak mereka Najela, Najwa, Nasywa, Nahla dan Ahmad adalah pihak-pihak yang turut andil bagi keberhasilannya.[6]
2.   Riwayat Pendidikan M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Ujung Pandang. Sejak masa kanak-kanak M. Quraish Shihab telah terbiasa mengikuti pengjian tafsir yang diasuh ayahnya. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqhiyyah.
Pada Tahun 1958, ketika usianya 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Sembilan tahun kemudian ketika ia berusia 23 tahun pada tahun 1967, pendidikan strata satu diselesaikan di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits. Dua tahun kemudian pada tahun 1969 gelar MA diraihnya di universitas yang sama, dalam spesialis bidang tafsir Al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’I li Al-Qur’an al-Karim. [7] 
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.
Pada tahun 1980 M. Quraish Shihab kembali lagi ke Universitas Al-Azhar untuk menempuh program doctoral. Hanya dua tahun waktu yang dibutuhkannya untuk merampungkan jenjang pendidikan strata tiga itu. Pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Baqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Dia meraih gelar doctornya dengan nilai akademik terbilang istimewa. Yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan tingkat I. walhasil, ia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor dalam  ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar. [8]
3.      Riwayat Karir M. Quraish Shihab
Sekembalinya ke Indonesia setelah meraih Doktor dari al-Azhar sejak tahun 1984 M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana dan akhirnya jadi Rektor IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998). Pada tahun 1970 M. Quraish Shihab juga sempat dipercaya untuk memegang jabatan sebagai pembantu rektor bidang akademisi dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Makasar (1974-1980).
Selain itu di luar kampus dia juga di percaya untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat tahun (1985-1998), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Depatemen Agama (1989-sekarang), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1988-1996). Anggota MPR RI (1992-1987, 1987-2002), anggota Badan Akreditasi Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-1997), anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syari’ah Bank Muamalat Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993). Beliau juga pernah menjabat sebagai mentri agama RI masa pemerintahan Soeharto. Pada masa pemerintahan BJ. Habibi ia mendapat jabatan baru sebagai duta besar Indonesia untuk pemerintah Mesir, Jibuti dan Somalia. Pernah juga ia meraih bintang maha putra.[9]
Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsum Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI).  Di sela-sela kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.[10]
Meski disibukkan dengan berbagai aktifitas akademik dan non-akademik, M. Quraish Shihab masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita ia mengasuh rubri“Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.
4.      Karya-karya M. Quraish Shihab
Karya-karya tulis ilmiah M. Quraish Shihab sangat banyak. Pemikiran dan penafsirannya mewarnai tulisan dan buku yang diterbitkan. Mufassir yang diangkat menjadi Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga aktif dalam berbagai forum keilmuan Islam. Beliau mengisi berbagai forum keislaman terutama dalam Tafsir dan bidang literatur pemikiran Islam. Karya-karyanya tersebar, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Diantara karya-karya Quraish Shihab yang telah dipublikasikan adalah sebagai berikut:[11]
a.       Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984)
b.      Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994);
c.       Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011);
d.      Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
e.       Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996);
f.       Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
g.      Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
h.      Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
i.        Al Lubab; Tafîr Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur'ân (Boxset terdiri dari 4 buku) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2012)
j.        Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008);
k.      Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010);
5.      Metode penulisan tafsir Al-Misbah
Kata metode diambil dari bahsa yunani, yaitu methodos yang artinya cara atau jalan. Dalam bahsa arab metode dikenal dengan sebutan thariqah.[12] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode berarti cara yang teratur dan terfikir dengan baik untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki. [13]
Seiring berjalannya waktu, ilmu tafsir terus berkembang, dan jumlah kitab tafsir serta corak penafsirannya juga semakin banyak dan beraneka ragam. Menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.[14]
 Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab yaitu menggunakan metode tahlili (analitik), yaitu metode yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan musafirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan peruntutan ayat-ayat dalam mushaf.[15]
Pemilihan metode tahlili yang digunakan dalam tafsir al-Misbah ini didasarkan pada kesadaran Quraish Shihab bahwa metode maudu'i yang sering digunakan pada karyanya yang berjudul "Membumikan Al-Qur'an" dan "Wawasan Al-Qur'an", selain mempunyai keunggulan dalam memperkenalkan konsep al-Qur'an tentang tema-tema tertentu secara utuh, juga tidak luput dari kekurangan.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an memuat tema yang tidak terbatas, bahwa al-Qur'an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi dengan ditetapkannya judul pembahasan tersebut berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan. Dengan demikian kendala untuk memahami al-- Qur'an secara komprehensip tetap masih ada.
Akan tetapi dalam tafsir al-Misbah ini M. Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudlu’i yakni,metode mengumpulkan ayat-ayat AlQur’an yang membahas satu tema tersendiri, menafsirkannya secara global dengan kaidah-kaidah tertentu dan menemukan rahasia yang tersembunyi dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, dalam menggunakan tafsir al-Maudhu’i memerlukan langkah-langkah yang pertama, Mengumpulkan ayat-ayat yang membahas topik yang sama, kedua Mengkaji Asbab al-Nuzul dan kosakata secara tuntas dan terperinci, ketiga mencari dalil-dalil pendukung baik dari Al-Qur’an, hadis maupun ijtihad.[16]
Hal ini terlihat dari caranya membahas setiap surat atau ayat, yang beliau selalu mengelompokkan ayat-ayat dalam surat sesuai dengan tema tema pokoknya. Misalnya Surat Waqi’ah, ayat-ayat dalam surat ini dikelompokkannya kedalam enam kelompok, yang jumlah ayat masing-masing tidak sama, tergantung pada sub topik yang dikandungnya. Dengan pengelompokkan ini, pembahasan hal yang sama tidak dilakukan dua kali atau berulang, tetapi cukup sekali. Jikapun terjadi pengulangan pembahasan biasanya pembahasan yang kedua relatif lebih singkat dan biasanya sang penulis langsung mengarahkan pembaca untuk melihat kembali pada bagian sebelumnya, atau kepada ayat yang akan dijelaskan lebih rinci di kemudian.
Sebagai contoh, ketika menafsirkan kata Nafs Wahidah pada surat Al-A’raf, beliau hampir tidak menjabarkan sama sekali mengenai penjelasan kata/ lafadz tersebut akan tetapi langsung menunjukkan/ merekomendasikan kepada pembaca untuk kembali kepada ayat pertama surat Al-Nisa’ yang memang memiliki kesamaan tema/ pembahasan, yaitu mengenai penciptaan manusia pertama kali. Kemudian untuk penafsirannya, ada beberapa langkah yang dapat dilihat dalam tafsir al-Misbah.
Dalam penafsirannya, M. Quraish Shihab mengambil beberapa langkah serta mengedepankan aspek-aspek tertentu yang dipandang urgen. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a)      Dimulai dengan penjelasan singkat tentang nama surat, urutan turunnya surat, serta tujuan utama surat tersebut.
b)      Mencari munasabah (korelasi) dengan ayat sebelumnya .
c)      Terkadang diikuti penjelasan mengenai sebab-sebab turunnya ayat atau Asbab al-Nuzul bagi ayat-ayat yang memilikinya.
d)     Penjelasan terhadap potongan ayat/ lafadz yang dianggap penting dan substansial.
e)      Penjelasan panjang lebar baik dengan pendapat sendiri maupun dengan mengutip pendapat beberapa ulama lain.
f)       Sesekali juga mengutip hadis Nabi yang dianggap sesui dengan pembahasan, dengan penjelasan kwalitas hadis tersebut.
g)      Terkadang sang penulis mengambil kesimpulan dari perbedaan pendapat ulama yang ada, namun sering juga membeiarkan perbedaan pendapat tersebut tanpa menyimpulkan atau memilih salah satunya.

C.    Corak Penulisan Tafsir al-Misbah
1.      Corak Tafsir al-Misbah
Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, yang perlu  diperhatikan adalah hal yang lebih dominan dalam tafsir tersebut. Setidaknya ada enam corak tafsir, yaitu : Tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi ar-rayi, Tafsir al-Fighi, Tafsir al-Shufi, Tafsir al-Falsafi, Tafsir al-Ilmi, dan Tafsir al-adabi al-ijtima’I.[17]
Tafsir al-Misbah ini lebih cenderung kepada corak sastra budaya dan kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima'i), yaitu corak tafsir yang menjelaskan  ayat-ayat al-Qr’an berdasarkan ketelitian ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya dalam tatanan social, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya.[18]
Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.
Setidaknya ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur'an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasan lebih tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat. Ketiga, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar.
Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab ini nampaknya memenuhi ketiga persyarakat tersebut. Sehubungan dengan karakter yang disebut pertama, misalnya didalam tafsirnya surat al-Furqon ayat 63 Quraish Shihab menjelaskan.
“Kata (هوناَ) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan.
Sifat hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan yamsyuna ala al-ardhi haunan yang artinya berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara berjalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi SAW meningatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau berkata: “Sungguh cara berjalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
 Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw, dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.” [19]
Orientasi kemasyarakatan dalam tafsir ini nampak jelas pada sorotannya atas masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang dihidangkan hampir selalu relevan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, penjelasan-penjelasan tersebut dimaksudkan sebagai upaya menangani atau sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tersebut.
2.      Contoh Tafsir Al-Misbah
Contoh tafsir al-Misbah surat al-An’am ayat 2:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih terus-menerus ragu-ragu. (QS: Al-An’am {6}: 2). [20]

            Dalam hal ini, pada arti sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang terkuat tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya Alquran menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Ajal yang pertama adalah kematian, yang paling tidak dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish Shihab bahwa pembentukan diri manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bias jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun, inilah yang tertulis di lauh al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki hubungan dan pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bias jadi factor-faktor dan penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling mempengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui senhingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehdupan normal yang mungkin bias sampai pada batas seratus atau seratus duapuluh tahun itu.
Hal ini yang dimaksud sementara ulam Ahlus Sunnah dinamai dengan qadha’ mallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena factor, antara lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah sama sekali.[21]

D.    Kesimpulan
1.      Dalam tafsir Al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish Shihab yaitu menggunakan metode tahlili (analitik), yaitu metode yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan musafirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan peruntutan ayat-ayat dalm mushaf.
2.      Sedangkan dari segi corak, tafsir al-Misbah ini lebih cenderung kepada corak sastra budaya dan kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima'i), yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur'an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik, kemudian seorang mufasir berusaha menghuhungkan nash-nash al-Qur'an yang dikaji dengan kenyataan social dan sistem budaya yang ada.


























Daftar Pustaka
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: Balai Pustak, 1998.
Al-Farmawi, Abdul al-Hay, al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudlu’I, al-Qahiroh: Hi al-Hadarah al-Arabiyah, 1997.
Amin, Saiful Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008, Cet. I.
Azra Azyumardi, Sejarah dan Ulumul Qur’an (akarta: Pustaka Firdaus, 1999).
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).
Masduki Mahfudz, Tafsir Al-Misbah: Kajian atas Amtsal Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Shihab M. Quraish, Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 2007.
Shihab M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 2007, Cet. II.
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, vol.6.
Shihab M. Quraish, Kaidah Tafsir,Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Suprapto M. Bibit,. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejara Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010.
Said Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015.





[1] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, ( Bandung, Mizan, 2007), hlm. 9
[2] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I, hlm.31.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. II, hlm. 19-20.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, hlm.14

[6] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I hlm. 32.
[7] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 237.
[8] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an,..hlm. 238..
[9] Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), Cet. I hlm. 35-36.
[10] M. Bibit Suprapto,. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejara Perjuangan 157 Ulama Nusantara. (Jakarta: Galeri Media Indonesia. 2010), hlm. 669
[11]  Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah: Kajian atas Amtsal Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 13-14.
[12] Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015), hlm. 121.
[13] Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).
[14] Abdul  al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudlu’I, (al-Qahiroh: Hi al-Hadarah al-Arabiyah, 1997), hlm, 23-24.
[15] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,(Tanggerang: Lentera Hati, 2013), cet, II, hlm 378.
[16] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal, 151
[17] Azyumardi Azra, Sejarah dan Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 173.
[18] Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 31.
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an, ((Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol.9,  hlm. 157. 
[20] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Balai Pustak: 1998)
[21] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an, ((Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol .4,  hlm


Baca juga: Makalah Teori Hakekat Psikologi Perkembangan dan Makalah Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling.
Latest
Previous
Next Post »
0 Komentar